Phinisi pun Berlayar ke Karibia
Rabu, 27 Mei 2009 | 02:35 WIB
Rick Stevens
Gambar perahu phinisi khas Makassar dalam lukisan cadas di Australia menunjukkan interaksi Suku Abvorigin dengan pelayar Bugis atau Makasan sudah lama berlangsung.
Bentuknya unik, hasil buah tangan anak bangsa dan dikerjakan dengan menggunakan tenaga manusia namun daya jelajahnya mampu mengelilingi dunia yang tidak kalah dengan kapal terbuat dari besi.
Tidak banyak orang yang tahu, kalau kapal phinisi itu adalah kapal dari kayu yang dirakit dan didesain di sebuah desa terpencil di Tanjung Bira Kecamatam Bira Kabupaten Bulukumba, atau sekitar 200 km arah utara Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Phinisi kini bukan lagi kapal barang tetapi sudah menjadi kapal wisata dan sekaligus menjadi rebutan sejumlah pengusaha di dunia yang bergerak bidang parawisata dan restoran laut.
Kapal unik itu terbuat dari kayu besi (kayu ulin) dan jati menjadi perhatian dan tontonan warga ibukota dan bahkan wisatawan mancanegara saat berkunjung ke Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara (Jakut).
Meski bentuknya sama dengan ratusan kapal kayu yang sedang bongkar muat barang namun "KLM Pearl" (nama kapal itu) , tidak melakukan aktivitas karena memang kapal itu didesain khusus untuk parawisata di negara tujuan.
"Memang kapal ini, bukan untuk kegiatan pemuatan barang tetapi untuk persiapan diberangkatkan ke Karibia, " kata nakhoda kapal KLM Pearl, M Tabri.
Karibia salah satu kawasan di Amerika Selatan, atau India Barat yang merupakan sekelompok pulau di Laut Karibia. Pulau-pulau itu terbentang menuju selatan dari bawah Florida ke barat laut Venezuela di Amerika Selatan.
Paling tidak dari sekitar 7000 pulau, pulau kecil, karang dan kepulauan lainnya dikelompokkan menjadi 25 wilayah termasuk negara merdeka, , dan daerah administratif lainnya.
Karibia sendiri terdiri atas Antilles Besar dan Antilles Kecil dan bagian dari Amerika Utara juga terkenal dengan bajak lautnya.
Tabri menjelaskan, kapal phinisi dipesan oleh pengusaha dari Amerika Serikat (AS), untuk dijadikan sebuah restoran kapal terapung di negara itu.
"Tugas kami hanya membawa dan mengantar kapal ini ke negara tujuan bersama 12 orang anak buah kapal (ABK) saya," katanya.
Kapal dengan panjang 40 meter, lebar sembilan meter, tinggi tiang dari bodi menjurus ke ats sepanjang 12 meter dengan dihiasi tujuh layar itu akan diberangkatkan dalam waktu tidak lama.
Segera berangkat
Kehadiran kapal phinisi di Pelabuhan Sunda Kelapa sebelum menuju ke negara tujuan, juga mengarungi laut di pelabuhan Gresik, Jawa Timur kemudian ke Semarang sebagai ajang uji coba kegiatan pelayaran yang akan menempuh ratusan ribu kelometer menuju Karibia.
"Kami sisa menunggu perintah ’bos’, kapan kapal ini saya berangkatkan ke negara tujuan," kata Tarbi.
Kapal yang berbobot 400 gross ton (GT) itu sebelumnya, bertolak dari Kabupaten Bulukumba, Sulsel tempat dimana kapal itu dibuat dan dirakit sesuai dengan pesanan.
Proses pembuatan kapal ini, cukup lama yakni hampir satu tahun dengan melibatkan sebanyak 11 pekerja yang cukup terampil, kata Asisten Nakoda KLM Pearl, Syamsul.
Keunikan kapal tanpa kamar itu, dirancang khusus menyerupai sebuah restoran yang di dalamnya hanya terdapat meja ukir, kursi antik terbuat dari kayu jati yang dipesan dari pengrajin di Jepara, Jawa Tengah.
"Semua kelengkapan yang tertempal dalam kapal ini hanya diisi berupa barang-barang antik produk kerajinan dari sejumlah daerah di Tanah Air," katanya.
Menariknya kapal terapung phinisi yang berpaduan antara berwarna krem kombinasi hitam buram, di depan anjungan kapal, terdapat sebuah patung cantik bergambar gadis Indian yang diukir dan dipesan khusus pengrajin dari Bali.
Mengarungi samudera
Proses pembuat kapal phinisi di sebuah perkampungan nelayan di Kabupaten Bulukumba, tak ada istimewa karena peralatan yang digukanan sangat sederhana.
Tapi tak bisa dipungkiri, kalau kapal hasil karya mereka itu telah sukses dan siap mengarungi Samudra Hindia dan bahkan akan berlayar sampai ke Madagaskar.
"Tak ada sekolah khusus untuk kegiatan pembuatan kapal ini. Ini kami lakukan karena ini secara turun -temurun dari kakek, bapak hingga anak cucu ikut menjadi pekerja dalam membuat kapal sesuai dengan pesanan," kata seorang ABK yang ikut dalam proses pembuatan kapal tersebut, Hery.
Kapal hasil karya di daerahnya itu, bukan pertama kali dihasilkan tetapi sudah mencapai puluhan bahkan ratusan unit dibuat dengan berbagai ukuran sesuai dengan pesanan dari negara tujuan seperti Jepang, Malaysia, dan Singapura.
Beberapa tahun lalu ada pengusaha Malaysia memesan kapal seperti ini, juga untuk dijadikan salah satu hotel dan restoran terapung di negaranya, katanya.
Rancang bangun untuk menghasilkan sebuah kapal nilainya cukup mahal tergantung dari jumlah bahan baku dan teknik pembuatannya.
"Harga kapal semacam KLM Pearl ini nilainya bisa mencapai anatara Rp2 miliar hingga lebih dari Rp3 miliar tergantung dari bentuk dan keunikan kapal itu" kata Tabri.
Kapal yang dibuat tanpa perlu ’blueprint’ maupun hitungan skala rumit lainnya bahkan sebagian besar peralatannya pun masih tradisional, namun hasilnya tak perlu diragukan lagi.
"Yang kadang membuat keterlambatan pembuatan sebuah kapal itu adalah bahan baku yang biasanya didatangkan dari luar daerah seperti Papua, dan Kendari, Sulawesi Tenggara," katanya.
Uniknya pembuatan kapal ini kadang harus membuat dulu dinding luar kapal terlebih dahulu, baru kemudian membuat rangka dalamnya. Kapal phinisi bukan sekedar narsisme Bugis-Makassar dan subetnisnya, tetapi adalah gairah Nusantara.
Tanpa menyebut berapa kecepatan daya tempuh kapal dalam satu jam, namun menurut M Tabri, kapal yang dirancang khusus sesuai permintaan konsumen itu akan bertolak dari Sunda Kelapa menuju Batam, kemudian seterusnya masuk ke pelabuhan Internasional Singapura.
Di Singapura, kapal ini akan berlabuh untuk beberapa hari kemudian meneruskan pelayaran ke sejumlah negara lain di Asia dan Eropa.
"Pemilik kapal tidak memberi target waktu kepada kami untuk harus tiba di Karibia, karena dalam pelayaran seperti saat ini kondisi cuaca tidak menentu sehingga akan sulit diprediksi tiba di negara tujuan," katanya.
Akan tetapi, pada setiap negara yang dilalui diwajibkan harus berlabuh untuk beberapa hari. Tujuannya adalah selain promosi juga sekaligus mencari beberapa produk cenderamata dan barang antik yang dihasilkan negara itu, ujar Tabri. (ANT)